Article Update :

Nostalgia Dikamar Mandi Pesantren Eumpe Awe

Monday, December 24, 2012


Mesjid Eupe Awe
Cebar-cebur dan basahlah badan. Mungkin kata-kata itu yang menjadi kata-kata pembuka sore itu saat mandi di pesantren eumpe awe (tanggal 15 desember 2012). Air pegunungan yang sangat sejuk, mengalir lepas diperkumpulan bak umum dipesantren itu.

Dari awal sudah mengira kalau mandi kali ini tidak berhasil, karena tidak ada persiapan sama sekali. Karena sebelumnya kepergian ini dianggap sepele, “Cuma satu malam kok”. Ternyata saat menjelang mandi baru terasa kesusahannya. Tidak membawa sikat gigi, sabun, maupun sisir. Masalah kecil sebenarnya, tetapi karena yang kecil itu saya jadi terjebak dikedalaman lamunan dikamar mandi.

Kamar mandi sore itu tidak dilengkapi dengan gayung, dan kerannya juga sudah hanyut dibawa arus air. Persis seperti bak mandi umum yang berada di kampungku,  lawe beringin gayo. Sebelumnya aku ingin keluar lagi dari bak mandi untuk mencari gayung, tetapi niatku itu kumasukkan kekeranjang sampah kecil yang berada dipojok bak mandi. “Aku ingin mengenang kembali masa kecilku” ucapku dalam hati.
***
Sewaktu aku masih kecil, kegiatan sepulang sekolah tentunya pergi kesawah. Ada sepetak lahan yang diupahkan sama kami. Dan hasil dari sawah itu nanti akan dibagi dua kepada empu tanah tersebut. Sedikit memang, tapi dari mana lagi beras yang kami makan selama in kalau bukan dari usaha menanam padi disawah itu.

Biasanya aku bersama keluarga pulang lumayan sore, sekitar pukul 17.00 wib. Berhubung karena belum terlalu sore, maka aku sempatkan untuk memancing belut disawah. Dan dapatnya juga tidak banyak. Hanya satu. Hehe.

Sekitar matahari sejengkal lagi baru akan tenggelam, barulah aku pulang. Langsung menuju bak umum. Dengan kondisi badan yang berlumpur aku langsung cebar-cebur di bak itu. Tanpa gayung dan sabun. Biasanya sabun saat itu disediakan pengurus mesjid. Itu juga sabun batang, yang sering dipakai ibuku untuk mencuci pakaian. Saat menulis ini aku juga masih bisa merasakan aroma sabun batang itu. Terkadang ke usilanku memuncak, saat orang lain tidak ada yang mandi aku sengaja masuk kedalam bak mandi. Selain karena instan, sekaligus sangat segar. Karena setiap kulitku terkena air pegunungan yang amat dingin, sehingga air yang berada di bak itu menjadi keruh. Karena lumpur yang tergenang yang terlalu lama sudah tidak dibersihkan mengambang keatas.

Pernah sesekali aku merasakan ada yang menabrak-nabrak kulitku saat aku mencoba untuk masuk kedalam bak. Dan beberapa hari kemudian, aku tahu disitu ada libo (sejenis kura-kura yang pipih). Aku taunya dari teman yang sering juga mengikuti jejakku masuk kedalam bak mandi, dan saat itu ia kedapatan orang tua yang hendak mandi sore juga. Ia ditakut-takuti oleh bapak itu kalau sebenarnya ada libo pemakan kulit manusia didalam bak. Tersontak aku kaget, bahwa selama ini yang menabrak-nabrak kulitku adalah libo.
***
Sore itu aku mandi sambil tersenyum, di pesantren eumpe awe yang berada di kota yang sunyi. Apalagi kalau hari sabtu dan minggu, bisa-bisa perkotaan akan dipenuhi oleh kumpulan sapi yang berlalu lalang di jalan raya. Ya, namanya aceh besar. Kebanyakan orang yang bekerja didaerah itu bertempat tinggal di banda aceh. Entah mengapa mereka mau tinggal dikota yang padat dan kecil itu. Kalau dibandingkan dengan aceh besar, banda aceh itu Cuma sepertiganya.

Baru-baru ini ada dengar desas desus dari pemerintahan kota, bahwa sanya ibu kota Nanggroe Aceh Darussalam itu akan dipindahkan ke aceh besar, mengingat banda aceh yang sudah padat dan lumayan kecil. Ada yang pro dan ada juga yang kontra akan perpindahan pusat aktivitas kota dipindahkan kedaerah yang luas itu.

Kalau dilihat dengan mata kita, keadaan aceh besar sekarang diisi oleh penduduk yang berekonomi rendah, mayoritas penduduknya bekerja sebagai petani. Hanya sedikit yang berniaga. Rata-rata yang bekerja sebagai penghuni kantor pemerintahan adalah masyarakat banda aceh. Pantas saja kalau sabtu dan minggu kabupaten kota aceh besar disulap menjadi sepi. Hanya ada perkumpulan sapi-sapi yang berlenggak lenggok di jalanan.

Namun yang menjadi pertanyaannya adalah, siapa yang mengatasi keadaan pesantren maupun keadaan sekolah yang kurang layak bagi para penghuninya. Padahal dari sana lah kota itu akan dibangun. Dari sanalah generasi pengganti yang akan menduduki pemerintahan yang ada di kabupaten kota. Tetapi tidak ada kelayakan pendidikan yang mereka dapatkan. Bayangkan saja, dipesantren eumpe awe, hanya memiliki santriwan dan santri wati sekitar 50 an. Dan mereka sekolah disamping bangunan Pesantren itu, ada yang bersekolah di SMP maupun SMA. Selidik punya selidik, ternyata pesantren itu dulunya mengajarkan ajaran yang sesat. Wallahu ‘alam jika semua itu diisukan oleh masyarakat tersebut. Pantas saja para penduduk takut memasukkan anaknya kepesantren itu. Tetapi diluar hal itu, para santrinya sangat ramah. Dibuktikan dengan sering mengajak kami main bola. Dan senyuman nya yang teduh, menyejukkan hati.

Ini bukan cerpen, ini bukan opini tetapi ini adalah curahan pikiran dan persaan yang mengenang masa kecilku. Masa yang tidak bisa ku ulang, tetapi hanya bisa kukenang. Dan ada sedikit kritik dan saran kepada pemerintah. Bahwa sanya harus ada pemerataan pendidikan. dimana pun ia berada. Sayang, santri yang ingin mandi gayungnya tidak ada, itu masih tingkat gayung. Bayangkan saja jika pakaian mereka yang sudah mulai usang. Mereka anak yatim piatu lho pak. Apa tidak sayang sama mereka? Pernahkan mendengar di dalam surat Al-Qur’an bahwa sanya kita harus menyantuni fakir miskin? Lalu tugas siapa yang mengatasi keluh kesah mereka kalau bukan pemerintahan yang adil dan bijaksana? (saya masih cuma bisa berkoar :( dan mencoba merasakan apa yang mereka rasakan)
Share this Article on :

0 comments:

Post a Comment

 

© Copyright Muhammad Irfan Redha 2012 -2013 | Design by Herdiansyah Hamzah | Published by M.Irfan Redha | Powered by Blogger.com.