Mesjid Eupe Awe |
Dari
awal sudah mengira kalau mandi kali ini tidak berhasil, karena tidak ada
persiapan sama sekali. Karena sebelumnya kepergian ini dianggap sepele, “Cuma
satu malam kok”. Ternyata saat menjelang mandi baru terasa kesusahannya. Tidak
membawa sikat gigi, sabun, maupun sisir. Masalah kecil sebenarnya, tetapi
karena yang kecil itu saya jadi terjebak dikedalaman lamunan dikamar mandi.
Kamar
mandi sore itu tidak dilengkapi dengan gayung, dan kerannya juga sudah hanyut
dibawa arus air. Persis seperti bak mandi umum yang berada di kampungku, lawe beringin gayo. Sebelumnya aku ingin
keluar lagi dari bak mandi untuk mencari gayung, tetapi niatku itu kumasukkan
kekeranjang sampah kecil yang berada dipojok bak mandi. “Aku ingin mengenang
kembali masa kecilku” ucapku dalam hati.
***
Sewaktu
aku masih kecil, kegiatan sepulang sekolah tentunya pergi kesawah. Ada sepetak
lahan yang diupahkan sama kami. Dan hasil dari sawah itu nanti akan dibagi dua
kepada empu tanah tersebut. Sedikit memang, tapi dari mana lagi beras yang kami
makan selama in kalau bukan dari usaha menanam padi disawah itu.
Biasanya
aku bersama keluarga pulang lumayan sore, sekitar pukul 17.00 wib. Berhubung
karena belum terlalu sore, maka aku sempatkan untuk memancing belut disawah.
Dan dapatnya juga tidak banyak. Hanya satu. Hehe.
Sekitar
matahari sejengkal lagi baru akan tenggelam, barulah aku pulang. Langsung
menuju bak umum. Dengan kondisi badan yang berlumpur aku langsung cebar-cebur
di bak itu. Tanpa gayung dan sabun. Biasanya sabun saat itu disediakan pengurus
mesjid. Itu juga sabun batang, yang sering dipakai ibuku untuk mencuci pakaian.
Saat menulis ini aku juga masih bisa merasakan aroma sabun batang itu.
Terkadang ke usilanku memuncak, saat orang lain tidak ada yang mandi aku
sengaja masuk kedalam bak mandi. Selain karena instan, sekaligus sangat segar.
Karena setiap kulitku terkena air pegunungan yang amat dingin, sehingga air
yang berada di bak itu menjadi keruh. Karena lumpur yang tergenang yang terlalu
lama sudah tidak dibersihkan mengambang keatas.
Pernah
sesekali aku merasakan ada yang menabrak-nabrak kulitku saat aku mencoba untuk
masuk kedalam bak. Dan beberapa hari kemudian, aku tahu disitu ada libo
(sejenis kura-kura yang pipih). Aku taunya dari teman yang sering juga
mengikuti jejakku masuk kedalam bak mandi, dan saat itu ia kedapatan
orang tua yang hendak mandi sore juga. Ia ditakut-takuti oleh bapak itu kalau
sebenarnya ada libo pemakan kulit manusia didalam bak. Tersontak aku kaget,
bahwa selama ini yang menabrak-nabrak kulitku adalah libo.
***
Sore
itu aku mandi sambil tersenyum, di pesantren eumpe awe yang berada di kota yang
sunyi. Apalagi kalau hari sabtu dan minggu, bisa-bisa perkotaan akan dipenuhi
oleh kumpulan sapi yang berlalu lalang di jalan raya. Ya, namanya aceh besar.
Kebanyakan orang yang bekerja didaerah itu bertempat tinggal di banda aceh.
Entah mengapa mereka mau tinggal dikota yang padat dan kecil itu. Kalau
dibandingkan dengan aceh besar, banda aceh itu Cuma sepertiganya.
Baru-baru
ini ada dengar desas desus dari pemerintahan kota, bahwa sanya ibu kota
Nanggroe Aceh Darussalam itu akan dipindahkan ke aceh besar, mengingat banda
aceh yang sudah padat dan lumayan kecil. Ada yang pro dan ada juga yang kontra
akan perpindahan pusat aktivitas kota dipindahkan kedaerah yang luas itu.
Kalau
dilihat dengan mata kita, keadaan aceh besar sekarang diisi oleh penduduk yang
berekonomi rendah, mayoritas penduduknya bekerja sebagai petani. Hanya sedikit
yang berniaga. Rata-rata yang bekerja sebagai penghuni kantor pemerintahan
adalah masyarakat banda aceh. Pantas saja kalau sabtu dan minggu kabupaten kota
aceh besar disulap menjadi sepi. Hanya ada perkumpulan sapi-sapi yang
berlenggak lenggok di jalanan.
Namun
yang menjadi pertanyaannya adalah, siapa yang mengatasi keadaan pesantren
maupun keadaan sekolah yang kurang layak bagi para penghuninya. Padahal dari
sana lah kota itu akan dibangun. Dari sanalah generasi pengganti yang akan
menduduki pemerintahan yang ada di kabupaten kota. Tetapi tidak ada kelayakan
pendidikan yang mereka dapatkan. Bayangkan saja, dipesantren eumpe awe, hanya
memiliki santriwan dan santri wati sekitar 50 an. Dan mereka sekolah disamping bangunan
Pesantren itu, ada yang bersekolah di SMP maupun SMA. Selidik punya selidik,
ternyata pesantren itu dulunya mengajarkan ajaran yang sesat. Wallahu ‘alam
jika semua itu diisukan oleh masyarakat tersebut. Pantas saja para penduduk
takut memasukkan anaknya kepesantren itu. Tetapi diluar hal itu, para santrinya
sangat ramah. Dibuktikan dengan sering mengajak kami main bola. Dan senyuman
nya yang teduh, menyejukkan hati.
Ini
bukan cerpen, ini bukan opini tetapi ini adalah curahan pikiran dan persaan
yang mengenang masa kecilku. Masa yang tidak bisa ku ulang, tetapi hanya bisa
kukenang. Dan ada sedikit kritik dan saran kepada pemerintah. Bahwa sanya harus
ada pemerataan pendidikan. dimana pun ia berada. Sayang, santri yang ingin
mandi gayungnya tidak ada, itu masih tingkat gayung. Bayangkan saja jika
pakaian mereka yang sudah mulai usang. Mereka anak yatim piatu lho pak. Apa
tidak sayang sama mereka? Pernahkan mendengar di dalam surat Al-Qur’an bahwa
sanya kita harus menyantuni fakir miskin? Lalu tugas siapa yang mengatasi keluh
kesah mereka kalau bukan pemerintahan yang adil dan bijaksana? (saya masih cuma bisa berkoar :( dan mencoba merasakan apa yang mereka rasakan)
0 comments:
Post a Comment