Sudahlama aku berpindah kezaman tekhnologi. Zaman yang membuat semua menjadi lebih instan, melebihi mie instan yang ada dipasaran. Zaman yang bisa dilakukan dengan satu kali picit tombol, semua datang kehadapan. Zaman yang banyak mengandung bahan kimia. Zaman yang luar biasa mudahnya dan membuat orang malas menjadi lebih malas.
Sudah
lama aku tidak menanak nasi pakai kompor dan priuk sebagai wadahnya. Selama ini
priukku telah tergantikan dengan magic com. Yang tinggal satu kali pencet dan
langsung dapat dinikmati. Dulu saat zaman modern ini belum ada, apa-apa harus
dimasak dengan kompor. Kompor minyak lampu yang jarang meledak jika
dibandingkan dengan kompor gas gratis pemberian pemerintah. Tapi cukuplah
bersyukur karena telah diberikan secara gratis. Dan sama-sama saling mendukung
program pemerintah untuk menghemat pengeluaran minyak bumi.
Kali
ini aku terpaksa memasak nasi pakai kompor, karena listrik dipadamkan oleh pak
PLN. Walhasil aku berterimakasih juga kepada bapak PLN, karena telah
mengingatkanku pada priuk kesayanganku. Yang sudah lama tidak dipakai, hingga
tangkainya sudah mengalami karatan. Wajar, priuk pemberian mama, priuk besi
buatan orang kampong yang sangat telaten, bukan aluminium. Berterimakasih pula
kepada tukang pembuat priuk karena sampai saat ini mereka masih menekuni
kegiatannya dan dipasarkan didaerah-daerah terpencil yang tidak tersentuh
dengan layanan PLN punya Negara yang kita cintai ini.
Berbicara
masalah kenikmatan yang sedikit dicabut oleh PLN ini. Kini kita sangat
menyadari betapa pentingnya energy listrik itu. Tanpa adanya ujian semacam ini,
maka kita tidak akan pernah berterimakasih kepada Negara yang senantiasa
memberikan pelayanan yang terbaiknya bagi kita. Tapi tidak bagi rakyat
Indonesia yang masih jauh tinggal dipedalaman sana.
Saudara
kita yang tinggal dipedalaman sana masih mengandalkan kekuatan sungai sebagai
penggerak kincir airnya untuk menerangi satu kampong. Listrik itu juga hanya
hidup pada saat malam telah menjelang. Betapa tidak, mereka harus memasak nasi
menggunakan priuk kesayangannya. Kalau menunggu masak pakai magic com, maka
ajal akan lebih mendekati mereka ketimbang layanan listrik yang kontinu
menyinari rumahnya.
Bukti
nyata ini telah disadari oleh Negara, bahwa masih ada orang yang diterlantarkan
oleh Negara. Masih ada pihak yang sengaja tidak di servis oleh bangsa yang
telah mereka perjuangkan. Mereka yang duduk di senayan sana, masih mengisi
perutnya masing-masing. Hingga butek, dan gembung karena ada hak rakyat jelata
yang masih tersembunyi diperutnya yang gendut itu.
Mereka
masih sempat tiduran saat siding tentang rakyat. Dan beradu argument disesi
penghujung saat membicarakan masalah dana. Dana yang akan dikucurkan kepelosok
negri. Adapula yang sengaja melonggarkan ikatan pinggangnya karena takut
kecekik perut kesayangannya itu.
Mereka
yang duduk disana, tidak merasakan keringat jagung yang mengucur bagaikan
binaraga. Mereka hanya ditugaskan untuk berfikir. Dimana otak mereka jika
ketiduran saat membicarakan masalah keberlangsungan hidup rakyat Indonesia ini?
Dimana hati nurani mereka saat itu, yang sedang memikirkan asap dapur rakyat
miskin? dimana ilmu S2 maupun S3 mereka saat meletakkan hak rakyat pada
tempatnya?
Yang
bisa di bandingkan adalah priuk versus uang.disaat Orang yang masih sibuk mencari isi periuknya
untuk dimasak dan dibagikan kepada anak-anak kesayangan mereka. Di waktu dan
tempat yang lain pula mereka menghambur-hamburkan uang dan memberikan kepada
Negara adi kuasa. Dimana letak hati mereka? Masihkah dikepala? Masihkah di
dadanya? Atau malah telah beralih kedengkul mereka yang sering
digoyang-goyangkan saat membicarakan keberlangsungan hidup rakyat banyak?
Huh…
tarik nafas dalam dalam dan menguburkan kesalahan mereka yang di senayan sana,
merupakan solusi yang terbaik bagi kami sang pengapit periuk. Biarkan periuk
ini kami isi dengan senyuman, dan tangisan bahagia kami. Karena kami telah
letih mengingatkan mereka yang duduk dikursi empuk senayan sana. Kami bosan
dengan janji-janji para penipu.
0 comments:
Post a Comment