Article Update :

Priuk, kompor dan Senayan

Sunday, January 27, 2013


Sudahlama aku berpindah kezaman tekhnologi. Zaman yang membuat semua menjadi lebih instan, melebihi mie instan yang ada dipasaran. Zaman yang bisa dilakukan dengan satu kali picit tombol, semua datang kehadapan. Zaman yang banyak mengandung bahan kimia. Zaman yang luar biasa mudahnya dan membuat orang malas menjadi lebih malas.

Sudah lama aku tidak menanak nasi pakai kompor dan priuk sebagai wadahnya. Selama ini priukku telah tergantikan dengan magic com. Yang tinggal satu kali pencet dan langsung dapat dinikmati. Dulu saat zaman modern ini belum ada, apa-apa harus dimasak dengan kompor. Kompor minyak lampu yang jarang meledak jika dibandingkan dengan kompor gas gratis pemberian pemerintah. Tapi cukuplah bersyukur karena telah diberikan secara gratis. Dan sama-sama saling mendukung program pemerintah untuk menghemat pengeluaran minyak bumi.

Kali ini aku terpaksa memasak nasi pakai kompor, karena listrik dipadamkan oleh pak PLN. Walhasil aku berterimakasih juga kepada bapak PLN, karena telah mengingatkanku pada priuk kesayanganku. Yang sudah lama tidak dipakai, hingga tangkainya sudah mengalami karatan. Wajar, priuk pemberian mama, priuk besi buatan orang kampong yang sangat telaten, bukan aluminium. Berterimakasih pula kepada tukang pembuat priuk karena sampai saat ini mereka masih menekuni kegiatannya dan dipasarkan didaerah-daerah terpencil yang tidak tersentuh dengan layanan PLN punya Negara yang kita cintai ini.

Berbicara masalah kenikmatan yang sedikit dicabut oleh PLN ini. Kini kita sangat menyadari betapa pentingnya energy listrik itu. Tanpa adanya ujian semacam ini, maka kita tidak akan pernah berterimakasih kepada Negara yang senantiasa memberikan pelayanan yang terbaiknya bagi kita. Tapi tidak bagi rakyat Indonesia yang masih jauh tinggal dipedalaman sana.

Saudara kita yang tinggal dipedalaman sana masih mengandalkan kekuatan sungai sebagai penggerak kincir airnya untuk menerangi satu kampong. Listrik itu juga hanya hidup pada saat malam telah menjelang. Betapa tidak, mereka harus memasak nasi menggunakan priuk kesayangannya. Kalau menunggu masak pakai magic com, maka ajal akan lebih mendekati mereka ketimbang layanan listrik yang kontinu menyinari rumahnya.

Bukti nyata ini telah disadari oleh Negara, bahwa masih ada orang yang diterlantarkan oleh Negara. Masih ada pihak yang sengaja tidak di servis oleh bangsa yang telah mereka perjuangkan. Mereka yang duduk di senayan sana, masih mengisi perutnya masing-masing. Hingga butek, dan gembung karena ada hak rakyat jelata yang masih tersembunyi diperutnya yang gendut itu.

Mereka masih sempat tiduran saat siding tentang rakyat. Dan beradu argument disesi penghujung saat membicarakan masalah dana. Dana yang akan dikucurkan kepelosok negri. Adapula yang sengaja melonggarkan ikatan pinggangnya karena takut kecekik perut kesayangannya itu.

Mereka yang duduk disana, tidak merasakan keringat jagung yang mengucur bagaikan binaraga. Mereka hanya ditugaskan untuk berfikir. Dimana otak mereka jika ketiduran saat membicarakan masalah keberlangsungan hidup rakyat Indonesia ini? Dimana hati nurani mereka saat itu, yang sedang memikirkan asap dapur rakyat miskin? dimana ilmu S2 maupun S3 mereka saat meletakkan hak rakyat pada tempatnya?
Yang bisa di bandingkan adalah priuk versus uang.disaat  Orang yang masih sibuk mencari isi periuknya untuk dimasak dan dibagikan kepada anak-anak kesayangan mereka. Di waktu dan tempat yang lain pula mereka menghambur-hamburkan uang dan memberikan kepada Negara adi kuasa. Dimana letak hati mereka? Masihkah dikepala? Masihkah di dadanya? Atau malah telah beralih kedengkul mereka yang sering digoyang-goyangkan saat membicarakan keberlangsungan hidup rakyat banyak?

Huh… tarik nafas dalam dalam dan menguburkan kesalahan mereka yang di senayan sana, merupakan solusi yang terbaik bagi kami sang pengapit periuk. Biarkan periuk ini kami isi dengan senyuman, dan tangisan bahagia kami. Karena kami telah letih mengingatkan mereka yang duduk dikursi empuk senayan sana. Kami bosan dengan janji-janji para penipu.
Share this Article on :

0 comments:

Post a Comment

 

© Copyright Muhammad Irfan Redha 2012 -2013 | Design by Herdiansyah Hamzah | Published by M.Irfan Redha | Powered by Blogger.com.